Mulai aja dulu.
"Aku ga bisa lho kayak gitu, rajin.. cekatan.. sat set"
"Mulai aja dulu ga apa-apa, dari yang paaling kecil paling sepele, ga usah diturutin dulu malesnya, semangatin diri sendiri"
Kudengar percakapan dua temanku dari balik kantorku.
Dan percakapan itu masih berlangsung hingga satu jam kemudian. Cukup menarik didengar dan aku pun bekerja jadi semangat karena percakapan mereka, saling memotivasi. Jadi, yang mereka obrolkan itu sangat membuatku setuju, pasalnya, mereka berlanjut mengobrol dari membiasakan hal-hal baik yang bisa dimulai dari diri sendiri dan bisa ditularkan ke anak-anak. Memang bisa jadi kita 'jeleh' dan 'waleh' itu-itu saja yang disampaikan ke anak-anak sekaligus anak-anak pun bisa jadi 'jeleh' dan 'waleh' juga, namanya kebiasaan pasti memang dimulai dari itu dulu lalu akhirnya jadilah kebiasaan, pun yang baik-baik aja ya kebiasaan yang dilakukan...
Nah, percakapan mereka membuatku flash back akan ketidakjenuhan ibuku selalu dan selalu mengingatkanku akan hal apa pun. Misal, "nduk, gelas ngeneki yo didelek e ra minggir-minggir, rodok nengah, nek ceblok ngenek i sikil".
Dan benar saja setiap saat setiap waktu sehari 24x ibuku selalu mengingatkanku pada gelas yang di pinggir meja itu karena aku selalu saja tak pernah ingat. Suatu ketika, gelas itu pecah dan mengenai kakiku, pun aku tak jeleh juga masih meletakkan gelas di pinggiran meja. Dan terjadi begitu seterusnya. Lagi, masalah handuk, sepatu, kaos kaki, baju, barang-barang yang berada di tempat yang tidak seharusnya, dan segala tetek bengek itu ibuku selalu ta waleh mengingatkan dan aku ta waleh tetap melakukan hal yang sama berulang kali karena selalu lupa.
Hingga SMP, aku ta pernah ingat pesan itu, masih saja teledor dan tidak juga ingat. Semisal, handuk yang tetap di atas kasur karena kuberfikir 'ah ada mbak-mbak' dan selalu begitu. Eits jangan salah, aku tetap masih dengan sukarela bantu-bantu yaa.. seperti menyetrika baju, mencuci piring, dan menyapu. Hanya saja memang sama ibu ga dibolehkan karena kata ibu, nanti mbak mbak e ndak ada pekerjaan. Ya baiklah aku ga begitu bantu-bantu. Hingga akhirnya kusadari, aku selalu mendengar dari lisan ibu terkait apapun itu ke mbak mbak yang nderek, misal, nyuci piring yang bersih, ini waktunya dicuci, mana yang perlu dibersihkan harus tuntas bersihnya, cucian masih kotor dan bau diulangi lagi, dan segala bentuk pengingat ke mbak-mbak yang nderek mungkin itu juga ikut nemplek di aku meski aku tak melakukannya. Itu mungkin terekam di otak.
Kuuingat-ingat lagi sekarang, pesan-pesan ibuku itu ternyata terasa saat aku duduk di bangku SMA berpisah dari ibu, yakni berasrama. Di sana segala bentuk wejangan itu seperti ter set otomatis, aku yang paling ga bisa lihat kotor dan cerewet ke teman-teman, rajin mbersihkan rambut yang ada di bolongan kamar mandi, membersihkan lantai kamar mandi, bak sekalian, bahkan ciduknya, menata tas teman-teman, mengingatkan teman-teman sebelum berangkat sekolah "ayo barang yang di atas meja dimasukkan ke almari, ga boleh ada baju yang teng slengkrah" dan segala bentuk kerapian dan kebersihan itu.
Bahkan saat kuliah, mungkin bisa dibilang harusnya ibu kosku membebaskanku dari biaya ngekos karena aku dah seperti tukang bersih-bersih kosannya, memang kosku tidak pernah ada petugas yang membersihkan karena sistem kosan yang kebersihannya ga keurus dan juga ga peduli bagaimana sistem kebersihan di kos, terserah penghuninya. Betul saja penghuni kosku orangnya sibuk semua dan hanya peduli dengan kebersihan kamarnya masing-masing, ga ada tuh yang mau nyapu kosan, bersihin kamar mandi, tempat bak, jemuran, buang sampah, karena posisi pas datang ke kos, kosan benar-benar kotor dan wow banget lah kotornya, oke dalam hatiku, kos akan bersih ini ta tinggali, benar saja aku ga betah dengan tingkat kebersihannya dan eksekusi bersih-bersih seluruh area kosan dan menemukan banyak sekali harta karun. Kekekeke~~ apa saja? Pertama, hanger, sepatu yang ternyata masih bagus, kotak makan tupperware, selang yang berguna untuk nyuci baju, buku bacaan, botol minum, ember, japit baju, piring, sendok, mangkok, dan segudang barang yang bisa kugunakan dan kumanfaatkan.
Nah, waktu SD dan SMP yang kuingat sebenarnya hanya satu "ibuku ini kok bisa ya ga waleh-walehnya ngingatkan terus". Insyaallah aku ga jengkel sih hanya heran saja kok bisa ga waleh. Kuselami kusadari kembali ya beginilah salah satu proses pendidikan yang seharusnya, kita yang tak boleh waleh dan jenuh mengingatkan anak-anak utamanya diri sendiri untuk membiasakan hal baik itu. Benar-benar terus dan menerus. Hal sepele adalah merapikan sepatu saat di masjid dan dimanapun berada, meletakkan sepatu di raknya, membuang sampah pada tempatnya, dan segala hal yang bisa diusahakan meski kecil dan terlihat sepele yang sesungguhnya itu bukanlah hal kecil dan sepele.. kita membutuhkan pikiran yang waras dan hati yang lapang untuk selalu dan selalu mengingatkan karena niscaya itu akan membekas di anak-anak, sekarang tidak terasa mungkin, namun nanti ketika mereka besar, pesan itu meski sederhana dan sepele kelak bermanfaat buat dirinya dan orang disekitarnya. Percaya saja karena magic Tuhan bukan main, kita diberi telinga dan mentransfer segala yang kita dapat kemudian masuk bagian saraf-saraf di diri kita dan anak-anak. Ketika kita yakin, Tuhan tidak sare, maka harus yakin untuk berbuat kebaikan itu meski berat dilakukan.
Komentar
Posting Komentar