Langsung ke konten utama

Reaksi Terhadap Perilaku Buruk Anak


“wah.. ngompol lagi! Diapakan ya ini enaknya!” nada tinggi saya terhadapnya sore kemarin.

Si anak berusia 3 tahun itu menjawab “di pel”

Seketika saya sadar, dia adalah anak balita yang masih dalam tahap belajar untuk mengontrol dirinya saat ia ingin pee. Dalam satu hari itu dia sudah mengompol sebanyak 2 kali. Ya, memang cuma dua kali saja yakni saat di siang hari dan sore setelah ashar, dan dia juga jarang sekali ngompol, pun dia sudah bisa “matur” kalau kebelet pipis, biasanya dia selalu bilang, tapi tidak tuk hari itu dan kadang beberapa kali juga begitu. Reaksi pertama yang mungkin biasa diberikan adalah marah dimana kita menggunakan otak reaktif kita terhadap perilaku anak yang tidak kita suka. Alih-alih membiarkan otak bawah yang reaktif dan emosional mendominasi dan mendikte perasaan lebih baik kita terkoneksi dengan anak terlebih dahulu. Bagaimana kita bereaksi sangat berpengaruh penting terhadap otak, ketika otak bawah yang digunakan, reaksi yang diberikan adalah “marah, ancaman, bentakan, dan kata-kata kasar lainnya yang bisa kita ucapkan ke anak”.

Lain kali ketika anak anda nampak kesulitan mengatur dirinya sendiri, tanyakan kepada diri Anda sendiri, “Apakah perilakunya masuk akal, dilihat dari usia dan situasinya?” Acap kali, jawabanya adalah ya.

Ada sebuah kasus dimana anak kita terlalu sering berperilaku baik dan sesuai dengan keinginan kita, namun saat anak berperilaku yang tidak kita inginkan, kita terlalu over dalam merespons, ekspektasi kita terlalu tinggi. Coba kita tengok diri kita sendiri, sudahkah kita selalu berperilaku baik setiap saat? Pernahkah kita merasa capek atau mengalami hari yang berat di tempat kerja atau suasana hati tidak baik? Pasti pernah atau hal-hal lain yang mempengaruhi kita hari itu. Anak-anak juga seperti itu.  Sesungguhnya bagi kita semua, kapasitas kita berubah-ubah berdasarkan kondisi fikiran dan fisik kita, dan kondisi-kondisi ini dipengaruhi oleh begitu banyak faktor – terutama dalam hal mengembangkan otak anak yang sedang berkembang. Dengan mengetahui hal ini, masihkah kita terlalu mengharapkan perilaku anak untuk baik setiap saat? Tentu sangat tidak adil bukan?

Oleh karena itu, mari kita belajar untuk menghindari segala bentuk pendekatan disiplin yang agresif. Memberikan rasa sakit, atau menciptakan ketakutan atau mungkin teror? Alasannya adalah hal tersebut tidak produktif.

Dalam sebuah buku, no-drama discipline dijelaskan “otak mengartikan rasa sakit sebagai ancaman. Jadi ketika orang tua memberikan sakit fisik kepada anak, anak tersebut menghadapi paradoks biologi yang tidak dapat dipecahkan. Di satu sisi, kita semua terlahir dengan naluri untuk datang kepada pengasuh kita untuk mendapatkan perlindungan ketika kita merasa sakit atau takut. Namun ketika pengasuh kita juga merupakan sumber dari sakit dan takut, ketika orangtua menyebabkan kondisi teror pada anak karena perbuatannya, ini bisa jadi sangat membingungkan bagi otak anak. Satu arus mendorong anak untuk mencoba melarikan diri dari orangtua yang menyebabkan rasa sakit, arus yang lain mendorong anak menuju sosok yang identik dengan rasa aman. Jadi ketika orangtua adalah sumber dari ketakukan dan rasa sakit, fungsi otak dapat menjadi berantakan karena tidak ada solusinya”

Tiga pertanyaan Mengapa? Apa? Bagaimana?
Sebelum kita merespons perilaku buruk anak, tanyakan tiga pertanyaan sederhana ini kepada diri kita:
1.   Mengapa anak saya berperilaku seperti ini? Ketika kita sedang marah, jawaban kita mungkin saja “karena dia anak nakal” atau “karena dia mencoba menguji kesabaran saya!” sekarang mari coba gunakan pendekatan penasaran alih-alih berasumsi, yakni dengan melihat lebih jauh apa yang menyebabkan suatu perilaku buruk dilakukan, kita sering dapat mengerti bahwa anak kita mencoba untuk mengekspresikan atau mencoba suatu hal, hanya saja tidak menanganinya dengan baik. Jika mengerti hal ini, kita sendiri dapat merespons dengan lebih efektif – dan penuh kasih sayang.
2.      Pelajaran apa yang ingin saya ajarkan saat ini?
3.      Bagaimana saya bisa menyampaikan pelajaran ini dengan baik? Menimbang dari usia anak dan tahap perkembangan beserta konteks situasinya.

Sebuah ilustrasi, seorang anak berusia 4 tahun yang memukuli anda, karena anda sedang sibuk di depan meja kerja. Yang mungkin dilakukan adalah menenangkan diri dan menghindari reaksi spontan. Tidak selalu mudah, bukan? Sesungguhnya, otak kita terprogram untuk mengaktifkan sakit fisik sebagai ancaman, yang mengaktifkan sirkuit saraf yang membuat Anda menjadi lebih reaktif dan menempatkan Anda dalam mode ‘bertarung’. Jadi hal ini membutuhkan usaha terkadang usaha keras, untuk mempertahankan kontrol dan mempraktikkan disiplin tanpa drama. Kita harus mengambil alih kendali otak kita yang primitif dan reaktif ketika itu terjadi. Tidak mudah. Bahkan ini lebih sulit dilakukan saat kita kurang tidur, lapar, atau kewalahan). Jeda antara reaktif dan responsif inilah yang menjadi awal dari pilihan, kehendak, dan kemampuan sebagai orangtua. Jadi praktekkan tiga pertanyaan diatas, mengapa, apa dan bagaimana?

1.   Mengapa anak saya berperilaku seperti ini? Dia belum cukup dewasa untuk menenangkan dirinya sendiri secara efektif dan konsisten atau cukup cepat menahan diri untuk tidak bertingkah. Saat itu, memukul adalah strategi bawaan anak untuk mengekspresikan rasa frustasi dan ketidaksabarannya yang menggebu-gebu, dan dia butuh waktu dan latihan pengembangan kemampuan untuk belajar cara menahan keinginan dan menangani kemarahan dengan benar. Itulah sebabnya ia memukul Anda. Rasanya tidak terlalu menyakitkan hati, bukan?

    Anak-anak kita tidak biasanya mencaci maki kita karena mereka semata-mata tidak sopan atau kita gagal sebagai orangtua. Mereka biasanya mengamuk karena tidak punya kapasitas untuk megatur kondisi emosional dan impuls mereka. Dan, mereka merasa cukup aman dengan kita dan tahu bahwa mereka tidak akan kehilangan rasa sayang kita, bahkan ketia mereka berada di kondisi terburuk. Sebenarnya, ketika seorang anak berusia empat tahun tidak memukul dan bersikap “sempurna” sepanjang waktu, kita khawatir terhadap ikatan batin si anak dengan orangtuanya. Ketika anak-anak terhubung kuat dengan orantuanya, mereka merasa cukup aman untuk meguji hubungan tersebut. Dengan kata lain, perilaku buruk anak anda sering merupakan pertanda bahwa ia percaya dan merasa aman dengan anda.

2.  Pelajaran apa yang ingin saya ajarkan saat ini? Pelajarannya bukanlah perilaku buruk memerlukan konsekuensi, melainkan bahwa ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan perhatian anda dan mengendalikan rasa marahnya alih-alih beralih ke jalur kekerasan. Kita ingin agar ia tahu bahwa memukul itu tidak baik, dan bahwa ada banyak cara yang lebih pantas untuk mengekspresikan perasaannya.

3. Bagaimana saya bisa menyampaikan pelajaran ini dengan baik? Meskipun menyuruhnya untuk merefleksikan diri atau memberikan konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak berhubungan bisa jadi membuat putra anda berpikir dua kali untuk memukul di masa depan atau tidak, ada alternatif yang lebih baik. Bagaimana jika kita berhubungan dengannya dengan cara mendekatkan dirinya pada kita dan memberitahunya bahwa ia mendapat perhatian penuh dari kita? Barulah kemudian kita dapat mengetahui perasaannya dan tahu cara mengomunikasikan perasaan tersebut: “sulit untuk menunggu. Kamu benar-benar ingin bermain, dan kamu marah karena Ibu berada di depan meja kerja. Benar, kan?” Kemungkinan besar kita akan menerima jawaban “ya” dengan penuh amarah. Itu bukanlah hal buruk: dia akan tahu bahwa dia mendapat perhatiannya. Sekarang anda dapat berbicara dengannya dan sementara ia menjadi semakin tenang dan bisa mendengarkan dengan lebih baik, mendapatkan kontak mata, menjelaskan bahawa memukul itu tidak baik, dan memberikan beberapa alternatif yang dapat ia pilih—seperti menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustasinya—dilain waktu ketika ia menginginkan perhatian Anda.

      Dan ternyata, hanya dengan memberi nama sebuah emosi, seseorang akan merasakan tingkat ketakutan dan kemarahannya berkurang. Itulah bagaimana otak atas dapat menenangkan otak bawah. Dan, itulah kemampuan yang dapat bertahan sepanjang hidup. Seperti “adik sedih ya tidak bisa ikut ibu ke sekolah? Nanti sepulangnya dari sekolah kita main bareng ya”, “adik marah ya ibu tidak belikan mainan?”, emosi-emosi seperti itu kita beri nama. Inilah yang perlu kita lakukan pada anak-anak kita ketika mereka marah dan bertingkah: bantu mereka mengikutsertakan otak atas mereka.
   
    Berikut beberapa tips yang mungkin bisa kita terapkan yang saya review dari buku no-drama discipline, memang sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan? Saya pun masih jauh dari kata sempurna menjadi seorang ibu, masih perlu banyak belajar dari si anak. Dan banyak membaca buku, artikel dan bertanya pada ahlinya. Mungkin kita tidak selalu bisa melakukannya dengan sempurna atau bahwa Anda dapat memikirkan respons Anda dengan segera ketika anak Anda sedang marah. Dengan latihan, pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantu kita untuk tetap memegang kendali respons dan bersikap reseptif di hadapan interaksi-interaksi yang sebelumnya memicu reaksi. Bertanya apa, mengapa, dan bagaimana dapat membantu menciptakan perasaan internal yang jernih bahkan dalam kekacauan eksternal sekalipun.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuatkan Dirimu!

Kita lemah karena dari 'lemah' Tanah itu berilmu, ia menumbuhkan pepohonan dan mengokohkan para penghuni tanah Kita seharusnya berilmu karena sejatinya tanah adalah tempat berpijak kita yang kuat Maka kita bukan lemah sebenarnya kita mampu dan kuat menghadapi detik demi detik berganti hari minggu bahkan sekarang Terimakasih karena badan ini telah kuat menjalani lika liku hidup Yakini kita tidak sendiri, Ia ada Pun teman yang peduli sudah lebih dari cukup Tidak ada alasan untuk menjadi lemah dan lelah Hidup terus melangkah Menuju muara bersama Sang pemberi arah Maka lihatlah 204 pasang mata  Mengarah pada kita  Merekalah para kader generasi Romo Maka, kuatlah! 

Menjuntai Kata, Detik Bertaut.

Keluarga adalah membongkar malam menapak angkasa. Keluarga adalah melirik bulan di langit malam. Keluarga adalah merajut bilangan menanggalkan alasan.  Makam adalah tanah pijakan bertabur sajak. Dinding adalah rambatan gelora nafas merangkai warna kenangan.  Mencintai. Tatkala ombak beraromakan tanah hujan, berpadu melayang bak deburan oasis. Mencintai; kristal senja menjelma jiwa penghuninya.  Bayangan; desiran laras kepedihan di ambang keabadian, terasa hening berdentingan.  At kelas menulis.  Kamis, 24 Desember 2020

Sebuah Cerita Pengalaman

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakaatuh Bismillahirrahmanirrohim Yth ketua stt pomosda, kepala sekolah smp dan sma pomosda beserta manajemen dan para asatidz yang berbahagia sekaligus yang kami sayangi santri pomosda dari sd-smp-sma dan mahasiswa stt  Pertama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat dzat Allah asmanya yang telah memberikan kita limpahan serta berkahnya kepada kita semua sehingga pada pagi yang cerah ini kita dapat melaksanakan upacara rutin setiap bulan pada tanggal 17 dalam keadaan sehat wal afiat Sholawat serta salam selalu kita haturkan kepada baginda nabi muhammad saw dan juga para penerusnya Guru Wasithah yang keberadaannya selalu berada di tengah tengah kita yang tidak bosan tidak waleh membimbing kita semoga kita semuanya mendapatkan berberan berkah sawab dan pangestuNya. Aamiin..  Dan terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami, khususnya saya karena bisa berdiri di sini di depan teman-teman semua, dengan keadaan yang lumayan ...